Suatu Malam dengan Ratna

Cima
8 min readJun 13, 2021

--

Sudah sering aku mampir ke kedai kopi ini, sebab selain dekat dengan kost, harganya pun lebih terjangkau dibanding kedai kopi lainnya — tentu saja ini hasil risetku sendiri. Seorang perempuan datang memasuki area kedai kopi tempatku biasa mengerjakan kerjaanku. Kopi tubruk di hadapanku mendadak dingin ketika kusesap sembari mengamati perempuan itu. Tampaknya perempuan itu juga sering mampir ke sini, sudah tiga kali belakangan aku datang, perempuan itu selalu muncul. Bisa kukatakan ia adalah perempuan yang memikat. Dengan gaun selutut, sepatu kets, dan riasan wajah yang natural — ah, betapa aku betah untuk menatapnya lama-lama. Jika sudah begini, kerjaan kantor begitu susah untuk dipikirkan, mangkrak sudah jadinya.

Aku tak tahu pastinya, apa yang mendasarinya untuk sering-sering datang ke kedai kopi ini. Sebab terkadang ia terlihat mengetik sesuatu di laptop, terkadang hanya membaca satu buku lalu pulang, atau malah hanya duduk diam mengamati sekitar; asik dengan kopi dan rokok yang menemaninya. Tentu saja ia selalu datang sendiri. Jika kau melihatnya terus-menerus, seperti dua mata pisau, kau bisa berpikir dia kesepian atau justru seperti penyendiri ulung. Menghabiskan harinya dengan dirinya sendiri dan melihat orang lain seperti ia sedang menonton sebuah film; sebagai tokoh fiktif dalam hidup nyatanya. Ia menarik, tentu saja selain hal-hal fisik yang kusebut tadi, maksudku di dunia yang hampa seperti ini, ia justru mencari-carinya, mendekatinya, berkawan dengan kesendirian. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana ia menghabiskan hari-harinya selain di kedai kopi ini?

Begitulah, setiap ia datang, pikiranku begitu penuh atas pertanyaan-pertanyaan tentang dia. Pekerjaan kantor lagi-lagi harus kembali kuselesaikan di kost. Pokoknya jika perempuan itu datang, pikiranku hanya terfokus padanya. Tidakkah dia menyadari bahwa aku selalu lama memandanginya, tidakkah ia risih? Aku curiga dia tidak menanggapi kehadiranku di sini. Seperti yang sudah kubilang, betapa ia bagai memiliki dunianya sendiri. Tiba-tiba terlintas hal gila dalam otakku untuk menyapanya, duduk dengannya dan ya, siapa tahu ia menanggapiku kemudian bisa kuserap isi kepalanya yang menjadi bahan bulan-bulanan kepalaku. Baiklah, aku segera mengemasi barang-barangku untuk duduk di meja yang sama dengannya.

“Hai, boleh duduk di sini?” Sapaku, ah, kikuk dan bodoh.

Lihat, sekarang ia tengah mengernyitkan dahi dan memandang beberapa meja kosong di sekitarnya. Ya, entah kenapa hari ini kedai kopi cukup sepi. Barangkali sebuah pertanda besar untuk memberi kami waktu agar bisa lebih santai menikmati kopi tanpa suasana yang riuh. Atau justru hanya aku yang tengah mengada-ada akan tanda?

Ia mengangguk dan tersenyum. Sebentar, sembari menaruh barang-barangku di meja, aku berpikir bahwa aku seperti lelaki yang mencari-cari kesempatan. Ah, mencari-cari dan mencuri-curi juga tidak ada bedanya. Jika aku tidak memaksakan diri untuk melakukan ini, harus sampai kapan aku menyimpan rasa penasaran dalam kepalaku? Setidaknya malam ini aku harus berhasil berbicara dengannya, atau aku pulang dengan kepala penuh pertanyaan dan pekerjaan kantor yang baru setengah jadi itu.

Kutanya namanya, perempuan itu. Ratna, katanya. Dan aku memperkenalkan namaku. Akhirnya obrolan kami cair, rasanya tiada lagi canggung antara kami. Rupanya ia mahasiswi Program Studi Seni Tari di salah satu kampus kota ini, yang tentu saja tak jauh dari kedai kopi tempat kami menongkrong. Dia ramah, cukup aktif bercerita, bahkan pertanyaanku tidak sekadar basian yang mau tak mau dijawabnya, tapi ia juga sering balik bertanya.

Di pertengahan perkenalan singkat kami, ia mulai mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Buku yang kebetulan pernah kulihat meski sama sekali tak pernah kubaca isinya. Buku karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita. Tentu, sebagai pekerja di bidang desain interior aku tak banyak membaca buku-buku semacam itu. Pernah aku mencoba membaca beberapa yang di antaranya kumengerti tapi seringnya, sih, tidak. Hal begini terkadang sangat kusesali sekaligus kusyukuri. Lagi-lagi bisa kujadikan kiat-kiat memahami isi kepala perempuan ini.

“Suka baca buku?” tanyaku. Agaknya pertanyaanku tidak begitu keren, tapi ia mengangguk.

“Walaupun aku mahasiswi Seni Tari, tapi entah mengapa sejak dulu aku terbiasa membaca buku. Entah novel, cerpen, puisi, fiksi atau non-fiksi, semuanya menarik bagiku. Tentu selain menari, membaca buku juga membuatku merasa ‘terangsang’.”

Aku tidak tahu mengapa ia gunakan kata ‘terangsang’ dalam jawabannya, mungkin sebab ia terbiasa membaca buku sehingga sebuah kata bisa menjadi banyak arti baginya. Aku tersenyum, mengangguk mantap seolah paham yang ia maksud. Begitulah, di dunia yang penuh penilaian ini terkadang perlu untuk menjadi pura-pura paham akan suatu hal agar nampak.

Ratna, perempuan berumur 22 tahun itu tenggelam dalam buku yang tengah ia baca. Begitu asyiknya iya membaca hingga sungkan aku membuka obrolan lagi. Padahal kepalaku masih penuh atas dirinya. Harus dituntaskan dan tidak bisa tidak. Aku berdeham agar pertanyaan yang sudah diujung bibir ini jelas didengarnya.

“Kau sudah berkekasih?” begitu seharusnya, kan? Agar semua tidak terlanjur dan siapa tahu mujur.

Ia menggeleng. Seketika ia menatapku dan tersenyum, tetapi begitu saja, kembali matanya terfokus pada jejeran huruf dalam buku. Ia jawab tidak, aku mengerti. Lantas tersenyum, itu yang tak kumengerti. Senyum apa itu? Aku ingin membaca tanda tetapi tanda-tanda yang terlintas dari pikiranku seolah hanya menumpang lewat, seperti tidak ada yang cocok untuk mengartikan senyumnya itu. Sulit betul mengertinya. Apakah ini sebab ia datang ke mari sendiri, sebab tidak ada seorang pun yang paham akan dirinya?

“Kulihat kau sering datang sendiri ke sini, sudah tiga kali belakangan aku datang ke kedai kopi ini, dan selalu bertemu kau.”

“Ya, dan aku paham betul kau mengamatiku, persis seperti yang kau lakukan saat ini.”

Sial. Jawabannya begitu kuat dan mampu membuat hatiku berdesir. Perempuan ini, semakin lama aku berbicara dengannya, semakin penuh sudah kepalaku dibuatnya. Ada perasaan seperti diri ini kecil di hadapannya, entah sebab apa aku juga tak paham.

“Tidak jarang ada orang yang berani menghampiriku yang tengah duduk sendiri seperti ini, bagiku itu suatu hal yang penuh pertimbangan. Kalau kau, mengapa?” tanyanya tiba-tiba.

Seolah merasa tertantang atas pertanyaan itu, aku memberanikan diri untuk berkata jujur. Kujawab dengan tak kalah beraninya seperti tindakanku yang menghampirinya. Aku menceritakan alasanku mendatanginya dengan dasar kerisauan pikiranku yang penuh rasa penasaran atas dirinya. Dan lihat apa reaksinya? Tertawa. Perempuan ini menertawai pikiran dan tindakanku! Sungguh berani dan tanpa suatu keraguan di raut wajahnya. Aku jadi was-was, ia mulai menganggapku sebagai lelaki aneh yang bertindak bodoh. Tetapi, ah, persetan, malam ini aku ingin tidur nyenyak dan menuntaskan semua hal tentang dia. Hingga tiada lagi perasaan terbebani dalam hidupku. Kemudian melupakan kejadian ini dan tentu saja perempuan ini, Ratna, yang baru kukenal beberapa jam lalu.

“Sikapmu sangat berani. Aku kagum. Sejujurnya sudah lama juga aku mengamatimu, tidak, bukan terus-menerus mengamati, hanya sesekali melihat kau sibuk dengan laptopmu.”

Betapa hatiku kaget dan senang dibuatnya. Rupanya selama ini kehadiranku pun ditengoknya, meski hanya sesaat, ketika ia perlu mengistirahatkan matanya setelah lama menatap layar laptop atau saat matanya lelah dengan kalimat-kalimat yang dibacanya. Bukan masalah, sebab ia, toh, melihatku juga.

Dari sekian banyak obrolan antara kami berdua, aku masih merasa bahwa ia tidak begitu tertarik denganku. Sebab pertanyaannya hanya mandek di sekitar hal-hal standar, seperti apa pekerjaanku, tempatku bekerja, asalku, dan di mana aku mendapat gelar sarjanaku. Ya, bagiku itu masih pertanyaan klise basa-basi yang mudah dilupakan. Ada harapan besar dalam hatiku agar ia menanyai hal-hal yang lebih ‘pribadi’. Entah ia sungkan, atau memang tidak tertarik menanyaiku lebih dalam. Betul jika di sini akulah yang lebih penasaran, sehingga wajar jika ia tidak menanyaiku lebih dalam seperti apakah aku memiliki kekasih atau tidak. Sayangnya pertanyaan yang kunanti tidak kunjung keluar dari mulutnya.

Di tengah-tengah kegelisahanku atas pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan itu, tiba-tiba ia menutup bukunya dan meminum kopinya. Berpaling ia kepadaku dan lama menatapku, lagi-lagi dengan senyum yang terkembang di wajahnya.

“Kau tahu mengapa aku sering datang sendiri ke kedai kopi ini?” tanyanya tiba-tiba. Persis dan pas sekali dengan salah satu hal yang membuatku penasaran selama ini.

“Aku memang baru tiga kali datang ke kedai kopi ini. Sebab aku sudah bosan dengan suasana kedai kopi lain, maka aku mencoba untuk menemukan kedai kopi lain untuk mengatasi rasa sepiku. Dan di kedai kopi lain aku juga selalu datang sendiri, jika itu yang saat ini kau pertanyakan dalam pikiranmu. Di kedai kopi lain, aku selalu didatangi oleh lelaki untuk sekadar bertanya-tanya singkat atau mengobrol, persis seperti yang kau lakukan saat ini. Dan bagiku, jika sudah selesai mengobrol dengan seseorang di sebuah kedai kopi, maka selesailah aku dengan tempat itu dan kemudian mencari tempat lain untuk sendiri. Bukan, bukan maksudku untuk menjadi terlihat seperti sosok misterius seperti dalam cerita-cerita misteri. Hanya saja, saat ini, bagiku rasanya menjadi aneh jika masih mendatangi kedai kopi, atau tempat apapun, kemudian berkenalan dengan orang baru. Dan entah bagaimana harus menjelaskan kepadamu, rasanya sudah tidak lagi sama dan tidak lagi nyaman seperti saat sebelum aku berkenalan dengan orang-orang asing itu, termasuk kau.”

Ia berhenti sejenak untuk meminum kopinya yang tinggal setengah gelas itu. Entah ia merasakan haus setelah lama menjelaskan hal itu padaku, atau memberiku kesempatan untuk memahami apa yang ia katakan. Sebab betul, aku tak berbohong bahwa aku cukup serius mendengarkannya tadi. Penjelasan itu bagiku seperti sebuah paradoks tentang kehidupan perempuan itu, juga sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan dalam kepalaku.

“Betul jika kau berpikir bahwa aku seperti perempuan kesepian yang mencari keramaian dunia dari kedai kopi kecil seperti ini. Namun aku tak bermaksud hipokrit, meski merasa kesepian, entah mengapa aku tidak ingin ditemani. Aku hanya ingin mengisi kekosonganku di waktu-waktu luang untuk sekadar mengamati orang-orang di kedai kopi, tanpa bermaksud untuk masuk di kehidupan mereka. Jadi begitulah, saat ini aku sedang takut untuk terlalu masuk dalam kehidupan orang lain, apalagi jika sampai bergantung dengan mereka. Aku punya teman, sungguh. Kehidupan sosialku juga cukup baik. Namun, ya kau tahu lah, ada batasan-batasan yang kutetapkan dan aku tak tahu, apakah batasan itu membebaskan aku atau justru mengekangku.”

Begitu kata Ratna. Panjang dan rumit rupanya. Aku tak ada keberanian untuk menanyakan hal-hal lain seperti, mengapa kau bisa setakut itu untuk masuk dalam kehidupan seseorang? Bukankah menarik jika kita bisa berada dalam hidup seseorang, merasa spesial atas kehadiran kita, diingat dalam beberapa hal sebab momentum-momentum yang tak terlupakan? Tetapi Ratna adalah Ratna. Perempuan yang dengan isi kepalanya sendiri, membebaskan sekaligus mengekang dirinya.

Menit-menit berikutnya kami habiskan waktu untuk mengamati orang-orang di kedai kopi ini. Kami menebak-nebak siapa mereka, berdebat apa yang kira-kira sedang mereka perdebatkan, dan bertaruh apa relasi dari beberapa orang yang duduk berpasangan. Sejenak aku merasa bahwa malam ini aku masuk ke dalam kehidupan Ratna. Hingga ia berkemas dan pamit untuk pulang.

Genap sudah satu bulan setelah mengenal Ratna. Beberapa kali jika memang sedang suntuk aku mendatangi kedai kopi ini. Ratna secara tidak langsung menghegemoni pikiranku. Rasanya ada hal lain, yang tidak membuat perasaan sama lagi ketika mendatangi kedai kopi ini. Maka kubilang sesekali, sebab betul, selain pekerjaanku yang semakin menumpuk hingga mengharuskanku pulang lebih lama, rasanya seperti aneh mendatangi kedai kopi ini. Tanpa kehadiran Ratna, perempuan yang semula membuat pikiranku gusar. Ratna berhasil membuatku merasa bahwa tempat ini terasa asing dan sepi.

Tiba-tiba aku paham apa yang ia maksud sebelum ia benar-benar pergi dari kedai kopi malam itu. Bahwa entah siapa yang akan dan sedang kehilangan siapa, yang jelas tinggal di suatu tempat yang membuatnya merasa asing hanya akan menimbulkan kerisauan dalam hati. Bagiku Ratna adalah perempuan yang tengah kesepian, yang penakut sekaligus pemberani. Ia takut memasuki orang lain, tetapi justru berani menghilangkan orang lain dalam hidupnya. Baginya, meninggalkan tempat yang baru ia singgahi bukanlah perkara sulit, sama halnya meninggalkan orang-orang yang baru ia kenalnya. Ia adalah seseorang yang hanya bisa kau raih dalam satu malam, namun jangan meminta malam-malam lainnya untuk memaksanya singgah dalam pengasingan.

--

--