/1/
Hasrat terpendam,
jerat tak tertanggungkan
pada nyala dupa yang
kau tahu,
sebab apa cepat kupadamkan.
Surat-surat itu mangkrak dan
tukang pos,
tak lagi mampu mengirim
kalimat-kalimat yang kubuat
dengan penuh kebimbangan.
Ya, kekasih…
beginilah nasibku
di hadapanmu dan
meski tidak lagi ada
yang akan mengantarkan ucapanku
ke hadapanmu.
Doa ini akan tetap kurapalkan.
Kepada engkau, kekasihku,
meski kau tahu
surat-surat itu
yang sampai kepadamu
seringnya menyumpahi;
mencaci maki.
/2/
Tukang pos datang terlambat hari ini
“Dan apakah kesempatan itu masih ada, Pak?”
tanyanya penuh peluh,
penuh keluh.
Hari ini ia dapati
satu surat langka harus dikirimnya. Surat
aneh, asing, juga sedikit terasing—
yang ia tahu, ini bukan persoalan amarah.
Sayang sekali,
surat langka itu tidak memiliki
alamat pasti. Seperti tersesat
pikirannya melesat pada
surat-surat yang penuh dendam itu.
Kali ini ia buat surat penuh doa—
baik, meski tak beralamat
tahu ia ke mana surat itu
harus diantarnya.
Tiada pula si tukang pos
berniat hati, iseng, atau
bermaksud, sedari awal mengantar
surat itu kepada alamat yang
sering mendapat surat caci-maki.
Namun, ia tahu dan
begitu selalu tahu—
“Doa ini akan tetap dirapalkannya.”
Surakarta, 29 Mei 2021
Ucapan dan doa baik senantiasa kepadamu.