Lelaki, belum habis anggur merah ini kita tenggak, sudah merengek kau untuk mencicip bibir ini. Bibir yang selanjutnya kau bilang paling favorit. Malam itu terlalu singkat bagi kita, untuk menuang berlipat dosa dua insan. Kita sepakat untuk belum tuntas.
Pada malam berikutnya kita habiskan waktu untuk bercumbu. Kau mencium kening, aku hening tak bergeming. Aku mencium pipi, kau bergidik, kita berdesir. Waktu, Lelaki— yang menyatukan sekaligus memisahkan jika hendaknya begitu. Malam tak pernah singkat lagi bagi kita.
Tetapi hidup tidak semata antara kau dan aku. Kita menatap pada tembok yang setiap saat mudah hancur. Tembok yang kita bangun itu nampaknya memang tidak akan pernah kokoh; mudah hancur ia. Sebab tak bisa kita paksakan semen mengeratkan bata yang penuh kepalsuan. Sungguh, 'kah? Sungguh kah bila kita saling, saat ini?
Aku membangun kembali tembok lain sebagai bandingannya. Kau, sejak awal memang telah hidup dalam tembok. Dan aku memaksa! Aku memaksakan diri untuk menyelinap, mencari celah, membuat lubang dusta pada tembok yang melindungimu. Atau sesungguhnya mengungkungmu?
Kau memang terkenal dengan ketidak tegasanmu. Tetapi aku tahu kau. Ketegasanmu adalah barang mahal yang berusaha memegang semua tali kendali. Aku tentu punya kendali tersendiri. Sebab sebagai manusia waras yang sedikit gila ini, kita masih berpijak pada diri yang masing tak asing. Kita sama-sama tahu, hal seperti ini akan membawa pada suatu pelepasan.
Yang lain, yang baru, yang asing di telinga masing-masing. Pelepasan yang sering kita lakukan dengan desahan “aah…, penuh nikmat…” akan menjadi pelepasan dengan desahan “aah..., sampai juga….”
Sampai juga, atau sampai jumpa, keduanya sama, bukan? Maka kali ini tidak bisa tidak, Lelaki. Pikiran ini telah membawaku pada sebuah ketetapan. Maka bersabda aku di pucuk bibirmu:
“Sudah, usah, usai. Sampai?”
“Sudah, usah, usai. Sampai?”
“Sudah, usah, usai. Sampai?”
Hingga menjelma menjadi nyanyian yang berdengung mengganggu gendang telinga kita dan bertanya-tanya, “Musnah?”