Jalanan yang lengang dan lampu yang remang. Kita menyusuri kegelapan hingga lupa berhenti sejenak. Pikirmu kacau dan aku tidak bisa mengurainya, lelaki. Kita terus mendekap dalam dinginnya malam yang dosa. Di kegelapan kita coba mengais sisa-sisa kebahagiaan. Hanya malam hari kita bisa berpeluk hingga berpeluh. Dan sampai kapankah?
Merasuk kita ke kepala masing-masing; dan entah apalah yang kita cari, lelaki? Kita sibuk mengusik cahaya di mata masing-masing. Aku adalah arang yang baru saja dipadamkan pada perapian rumah Sang Pejagal. Kau adalah api yang siap membakarku lagi. Maka bakarlah aku, lelaki. Bakar hingga aku memercik dan menghanguskan rumah pejagal itu. Dan akankah sampai?
Malam ini aku ingin mencium bibirmu— yang adalah miliknya. Tetapi hanya pada malam hari aku bisa mengunjungimu, bukan? Bawa lah, ajak aku, lalu sembunyikan aku di antah berantah. Hingga muskil tubuh telanjang ini ditemukan. Dan terimalah waktu kita yang berbahagia. Sanggupkah?
Subuh kau kembali. Aku menerima kehadiran dan kepergianmu. Sebab begitulah caraku mencintaimu. Meski tak mungkin kau percayai hal ini. Kau takut bukan, jika aku mencintaimu? Kau lebih mudah menerima aku yang begini dan begitu saja kepadamu. Maka tak apa, kau bawa aku selagi kita masih sama-sama mabuk oleh kegilaan ini. Berakhirkah?
Untuk lelaki yang telah berbaik hati menampung kegilaan pikirku; meski kita sama tahu bahwa ini sementara dan sekadarnya.
Surakarta, 2 Juni 2021