Laut Lepas

Cima
3 min readMay 28, 2021

--

Kudengar orang-orang mulai meneriakkan namaku. Sebab akulah yang membuat makhluk-makhluk di laut itu menjauhinya. Tiada kusadari selama ini, bahwa begitulah wujudku di mata orang. Tetapi aku tidak akan menyangkal atau membuat surat pernyataan bagi yang mempercayainya. Biar saja, ini hidup yang merdeka. Telah kuberi kebebasan pada mereka untuk mengeja tubuhku. Tiada rugi aku dibuatnya, sebab begitulah kehidupan. Kita selalu mengeja orang lain untuk kemudian mendekati atau menjauhi— keduanya adalah kewajaran.

Mas Darso, suamiku, telah pulang membawa dua ikan asin dan satu sotong sebesar lengan manusia dewasa. Suatu hal yang jarang terjadi, Mas Darso mendapat sotong sebesar itu. Rejeki! Hoki! Rasa-rasanya perlulah kami mengucap syukur. Baik dewa atau dewi, Poseidon atau Kanjeng Ratu Kidul, yang jelas telah berhasil mereka besarkan makhluk-makhluk laut itu.

Langsung kusiapkan sarapan untuk Mas Darso sebab ia pasti lapar sehabis berburu di laut. Nasi yang telah kumasak ini dari beras yang kutanam sendiri, meski tak seberapa lah sawah kami. Dua ikan asin dan sotong digoreng kering dengan sambal terasi dan lalapan. Pagi ini kami makan dengan lahap. Mas Darso saja sampai tanduk, lho. Berkeringat ia memakan sambal terasi buatanku.

Kehidupan kami sebetulnya tidak begitu baik. Mas Darso lebih sering menghabiskan hari-harinya di laut. Aku selalu merasa cemburu dibuatnya. Pada lautan yang mengasihi kami, seharusnya aku tidak begitu. Jika tengah malam Mas Darso bersiap melaut, aku selalu ikut bangun, membantunya menyiapkan alat-alat lantas memeluknya erat-erat. Seolah aku tahu, suatu waktu nanti laut akan merenggut Mas Darso dariku. Ia akan kembali dari laut di pagi hari. Tetapi siang hari akan kembali dia kepada laut, hanya sekadar menjenguk perahu kayunya, atau berjalan-jalan dengan anjing peliharaan kami. Pun terkadang nongkrong dengan kawan-kawannya, di warung kopi di pesisir pantai.

Aku begitu kalut pada laut. Di sana Mas Darso pasti menemui berbagai jenis makhluk yang mendiaminya. Benar bahwa ia tahu tabiat burukku ini. Begitu marah ia jika aku tunjukkan kecemburuanku ini padanya.

“Lastri, Lastri. Tidak masuk akal jika kau cemburu pada tempat yang memberiku kebebasan!”

Aku paham betul, Mas Darso menyenangi laut sebab ia senang menyelami kebebasan. Sebab laut adalah ketenangan, yang dapat menyenangkannya; sekaligus kengerian, yang justru membangkitkan gairahnya. Begitulah cara Mas Darso hidup— dan tidak, aku tidak bisa menyalahkannya sebab kecintaannya pada laut.

Semakin hari semakin kudapati tabiatku yang memburuk. Semakin aneh-aneh saja kelakuanku untuk menjauhkan Mas Darso dari laut; dari kebebasannya. Aku ingin memahaminya. Kukira selama ini telah besar usahaku mengerti Mas Darso. Tidak, rupanya. Sampai suatu waktu kucoba melakukan hal yang sama seperti yang Mas Darso lakukan.

Maka pergi lah aku ke sawah setiap hari dan pulang hanya jika waktunya makan atau tidur. Di sawah aku mencoba menanam beberapa jenis sayur, buah, atau apalah yang bisa ditanam. Semua gagal sebab aku tidak memikirkan masa. Aku mencoba melakukan hal lain. Kucari belut di sawah untuk lauk makan kami. Untuk yang satu ini berhasil. Aku sempat merasa tenang, sebelum akhirnya kusadari bahwa Mas Darso justru semakin lebih mencintai laut!

Ya, sebab aku tahu. Baginya, hal ini justru menjadi semakin adil dan jelas. Aku sudah begitu lancang terlalu masuk ke dalam diri seseorang. Ke dalam diri Mas Darso. Kudengar tetangga mulai membicarakan tingkah kami. Sebab betul, 'kan? Hidup ini begitu membosankan hingga kita perlu mengamati tabiat orang lain. Tak kusadari, apa yang kulakukan selama ini, perlawananku justru menghancurkan diri sendiri dan Mas Darso. Mereka bilang banyak makhluk-makhluk laut tak mau lagi memakan umpan Mas Darso. Ketakutan makhluk-makhluk itu adalah sebab perbuatanku.

Kekalutan dan kekacauan di pikiranku seperti terdengar oleh makhluk-makhluk laut, dan mereka mempercayainya. Adalah hal yang mustahil bagiku untuk terus-menerus hidup begini. Sebab itulah, aku mulai berkemas dan meninggalkan Mas Darso. Pergi aku ke hutan. Kutinggalkan kata-kata hasil ejaanku pada tubuh Mas Darso di lemari.

Lebih baik ia kembali pada laut lepas. Lebih baik ia mendapati makhluk-makhluk laut mendekat dan menari di sekitar tubuhnya yang setengah telanjang. Lebih baik ia kenyang dan senang dengan anak-anak yang telah dibesarkan oleh, entah Poseidon atau Kanjeng Ratu Kidul. Ketimbang mati kami berdua sebab tidak ada hasrat yang menghidupi tubuh kami. Ketimbang mati Mas Darso oleh kebebasan yang kurenggut.

Di hutan, aku mulai mengeja hal-hal lain. Bukan lagi Mas Darso. Bukan lagi tubuh yang lain. Namun pohon yang kokoh berdiri, berdampingan dengan daun-daunnya yang terlihat seperti semak mengambang. Mengeja tanah yang sedikit lembab sebab air masih mengalir di dalamnya. Mengeja angin yang hadir sunyi namun pasti. Mengeja kebebasan.

Surakarta, 29 Mei 2021

--

--