Kompilasi Perjumpaan dengan Orang-orang di Perantauan

Cima
5 min readOct 18, 2023

Sekitar enam tahun sudah aku merantau di Solo. Sebuah masa yang memberi banyak kenangan. Perjumpaan-perjumpaan yang tak terelakkan dengan orang-orang yang sangat acak. Kawan-kawan sebaya, bapak-ibu kos yang silih berganti, pedagang wedangan, kekasih yang juga silih berganti, ibu kantin kampus yang selalu mengingatku, hingga sopir BST (Batik Solo Trans). Orang-orang yang kutemui di perantauan, yang mungkin akan selalu kukenang bahkan bila nanti tidak mendiami kota ini lagi.

Tulisan ini kubuat sebab aku merasa hidup di perantauan telah sedikit-banyak mengubah diriku. Bagi orang yang merasa seperti apa yang orang-orang katakan dengan ‘kecanggungan sosial’, aku merasa bahwa aku dapat menangani situasi semacam itu jika bertemu dengan orang baru. Seperti saat aku masih meraba-raba dalam menggunakan transportasi BST untuk pulang menuju kos setelah bekerja. Masa-masa itu, aku masih belum mendapat tempat kos di dekat tempatku bekerja. Kosku yang cukup jauh dari tempat kerja membuatku harus menggunakan transportasi BST untuk menghemat biaya bulanan.

Suatu hari usai bekerja, aku menunggu bus BST di halte terdekat. Aku mengetahui kode bus yang harus kugunakan, K5S. Namun, saat itu aku terburu-buru menaiki bus yang berhenti di halte dan segera ku naiki tanpa melihat kode yang ada di bagian depan bus. Kesialan hari itu datang bertubi-tubi, dompet virtual yang kugunakan untuk membayar BST bermasalah. Panik. Aku mengatakan kepada sopir bus untuk membayar dengan uang tunai, dan tentu saja ditolak oleh sopir bus tersebut. Katanya, mereka tidak diperbolehkan menerima uang tunai dari penumpang dan mengatakan bahwa aku tidak perlu membayar jika memang aplikasi yang kugunakan sedang bermasalah.

Lebih sialnya lagi, aku baru menyadari bahwa bus yang ku naiki itu tidak sesuai dengan jalur yang seharunya ku lalui. Bus itu tidak akan menuju alamat kosku. Panik. Aku mengatakan pada sopir bus akan turun di halte mana pun jika telah berhasil membayar ongkos bus. Sambil berulang kali mencoba aplikasi untuk membayar, sopir itu mengajakku berbincang. Kami berkenalan, dan rupanya ia lebih muda dariku. Aku tidak menyadari karena lampu di dalam bus tidak terang menyala. Bus itu kebetulan adalah bus terakhir yang beroperasi, sehingga setelah menurunkanku, ia akan kembali ke terminal utama.

Singkat cerita, aku berhasil membayar ongkos bus tersebut dan turun di halte terakhir. Malam itu aku merasa sangat tertolong, walau harus mengeluarkan biaya lebih untuk memesan ojek online agar sampai di kos. Aku juga tidak tahu, bagaimana jika aku tetap tidak bisa membayar ongkos bus malam itu. Mungkin memang sebuah kebijakan tersendiri dari BST untuk ‘merelakan’ ongkos penumpang jika terkendala dalam membayar. Namun jika hal itu merugikan si sopir BST, aku pasti akan sangat menyesal. Untung saja hal itu tidak terjadi.

Sebulan berlalu, aku sudah mendapat kos di dekat tempat kerja. Aku kembali menaiki BST lagi usai mengurus kartu ATM yang kedaluwarsa dan hendak menuju tempat kerja. Ternyata kami bertemu kembali, namun kondisi bus sedang ramai penumpang sehingga kami tidak banyak mengobrol. Tentunya aku akan selalu mengingat apa yang telah ia lakukan untuk membantuku malam itu. Walau aku harus membuang perasaan tidak nyaman untuk mengobrol dengan orang baru, sebab sifat ‘kecanggungan sosial’ yang aku alami selama bertahun-tahun masih sedikit ada.

Sudah sekitar enam tahun aku mendiami kota Solo. Sejak berkuliah hingga kini telah menjadi pekerja yang tentunya biasa-biasa saja. Bisa dikatakan aku sedang dalam keadaan berserah (bukan pasrah), atas segala bentuk pilihan yang aku jalani. Hidup biasa-biasa saja, tapi sebisa mungkin berusaha bahagia dengan hal-hal sederhana. Bertemu dengan orang-orang yang bahagia melihat kehadiranku, contohnya.

Hal ini selalu ku rasakan ketika mengunjungi ‘Kansas’ (Kantin Sastra). Salah satu kantin di Fakultas Ilmu Budaya, UNS. Kantin yang sering ku datangi semasa berkuliah, hingga dikenal oleh si empunya. Tiga ibu-ibu yang selalu menyapa hangat—dan terkadang sedikit heboh—jika aku menampakkan muka di kantin mereka. Menanyakan kabar dan tentunya menanyakan hendak memesan apa.

Seperti beberapa hari yang lalu. Aku mendatangi temanku yang sedang sidang skripsi. Kami kemudian berpindah ke Kansas untuk makan siang dan minum es sebab Solo sedang panas-panasnya. Aku memang sengaja hendak memesan minum nanti, sehingga tidak segera masuk menemui tiga ibu-ibu kantin. Temanku berkata bahwa tiga ibu-ibu itu telah menyadari kehadiranku. Awalnya mereka ragu, namun salah satu ibu kantin akhirnya menyadari bahwa yang mereka lihat adalah ‘Mei-Mei’. Sebuah nama unik dari mereka untuk menyebut diriku.

Mereka memanggilku ‘Mei-Mei’ karena aku pernah menguncir rambutku menjadi cepol dua kanan-kiri. Aku hanya pasrah saja saat mereka ingin menyebutku dengan sebutan apa. Toh, hal itu tidak mengubah perlakuan mereka kepadaku. Hari ini, aku berkunjung lagi ke Kansas dengan seorang kawan lama semasa kuliah, Dkay. Ia mengajakku untuk sarapan bersama. Di sela-sela kesibukan bekerja. Di waktu-waktu yang tak banyak bagi orang-orang seusia kami untuk bisa bersua. Sebab hidup sebagai pekerja telah membuat beberapa orang bisa melupakan hal-hal sederhana seperti menemui kawan lama. Kehadiran kami berdua langsung membuat heboh tiga ibu-ibu Kansas. Kami semacam buron yang baru ditemukan setelah sekian lama menjadi most wanted karena telah berbuat kejahatan.

Menyenangkan. Hidup di perantauan seperti bukan hal yang perlu dikhawatirkan jika dikelilingi orang-orang yang menghargai kehadiran kita. Hal-hal yang seharusnya tampak sederhana saja, rupanya bisa menjadi bermakna.

Mungkin tulisan ini seperti melebih-lebihkan peristiwa-peristiwa yang tampaknya biasa saja. Sekali lagi, hal-hal semacam itu telah membuatku — yang memiliki kecanggungan sosial — terbantu untuk bisa mengembangkan diri. Mungkin aku terlalu meromantisasi kebaikan-kebaikan orang di sekitar, yang tentu saja dirasakan oleh banyak orang juga. Aku tidak menyangkal bahwa apa yang dilakukan oleh sopir BST, oleh ibu kantin, oleh pedagang angkringan, oleh sesiapa saja yang aku temui, adalah hal yang hanya aku saja yang merasakannya. Aku tidak menyangkal dan tentu saja hal ini dirasakan pula oleh beberapa orang.

Aku pernah membuat cuitan di akun X dan mengatakan bahwa kebiasaanku yang selalu mencari angkringan terdekat di sekitar tempat kos, membantuku untuk lebih dekat dengan warga sekitar. Seorang kawan pun mengomentari, bahwa di perantauan, bisa dekat dengan beberapa orang itu merupakan skill yang tidak banyak orang bisa melakukannya. Obrolan-obrolan ringan, di sebuah angkringan remang, yang membuatmu lupa jika sedang jauh dari rumah. Mungkin juga akan kau temui candaan a la bapak-bapak yang tidak sengaja kau curi dengar dan menertawai candaan yang tampak ‘garing’ bagimu.

Sesederhana apa pun bentuk peristiwa yang kutemui di perantauan, nampaknya menjadi kenangan tersendiri di memoriku. Mungkin perlu berhati-hati, untuk dapat menyadari sense yang bisa saja membawa diri kita dalam situasi bahaya. Terutama bagi perantau perempuan sepertiku. Namun keputusan untuk merantau tidak akan pernah menjadi hal yang aku sesali. Dengan segala kesulitan dan kemudahan yang kuhadapi, sendiri atau bersama, bersedih maupun bersenang.

— Surakarta, 18 Oktober 2023

--

--

No responses yet