Efek anggur merah dan bir yang ia tenggak bersama kawan-kawannya telah terasa. Sedikit loyo namun jiwanya bergairah. Bergairah untuk melakukan hal-hal yang malu ia lakukan di saat ia justru sedang waras-warasnya. Dan di saat-saat itulah ia memikirkan perempuan itu. Langit telah berubah terang, pagi datang menyambut orang-orang yang siap (mungkin juga terpaksa) mengulang rutinitas yang tak ada habisnya. Segera ia mencari ponselnya dan mengirim pesan ke perempuan itu. Pagi ini aku ingin bertemu denganmu, ketiknya.
Jangan kau pikir perempuan itu adalah perempuan panggilan yang biasa digambarkan di sinetron, film, atau novel. Perempuan itu hanya perempuan biasa. Ia juga baru mengenalnya, sebab itu ia tak bisa menggambarkan lebih jauh bagaimana perihal perempuan itu. Baginya, sejauh ia mengenal perempuan itu, ia terlihat seperti perempuan biasa namun cukup baik untuk menjadi temannya. Teman apa ia juga tak ingin menyebut terlalu detail.
Perempuan itu, yang ia kenal dengan nama Carla, membalas pesan singkatnya. Katanya ia bisa untuk datang ke sana, tetapi harus dijemput sebab ia tak ada kendaraan. Baginya, repot mengeluarkan motor dalam keadaan mabuk atau menghabiskan bensin, tidak masalah sebab ia telah memikirkan betapa indahnya pagi, memulai hari dengan perempuan di sisinya. Segera ia jemput Carla, tentu saja dengan bantuan maps sebab mereka belum pernah bertemu sama sekali.
Mereka akhirnya bertemu. Segera Carla menaiki motor itu dan menuju ke kos lelaki itu. Di perjalanan mereka mencoba memecah kecanggungan dan keheningan. Tentu saja lelaki itu yang memulai pembicaraan. Berulang kali meminta maaf sebab merasa telah mengganggu Carla. Sebetulnya Carla tidak terganggu, ia hanya berat hati telah buru-buru meninggalkan temannya yang lain. Lelaki itu tentu saja merengek agar Carla mau menemaninya. Dan Carla tahu, berbagai kalimat tolakan atau usaha mencari waktu lain untuk bertemu sudah tidak mempan.
“Masuk dulu saja, ke kamar itu,” tunjuk lelaki itu pada sebuah kamar kos berukuran sekitar 3x4 m.
Carla memasuki kamar itu. Sedikit berantakan sebab ia tahu, semalam kamar ini menjadi tempat pesta singkat para pemuda yang tak siap menghabiskan malam sendiri. Tetapi kamar itu cukup wangi, seperti sebelumnya telah disemprotkan wewangian ke setiap penjuru ruangan. Mungkin sebab Carla akan datang, maka setidaknya kamar ini harus memberi kesan baik di matanya.
Lelaki itu masuk kamar dan tengkurap di atas tempat tidur. Canggung, hening, tetapi tidak membuat udara dingin mendominasi. Ada kehangatan di hati mereka berdua, seolah perjumpaan ini telah lama dinanti. Meski kau tahu, ya, sekadar untuk ini.
“Kau jadi makan tadi?” ucap lelaki itu mencoba memecah keheningan.
“Aku bawa makanannya ke mari. Tidak ada waktu, sih, kamu mendadak sekali menghubunginya. Aku jadi tidak enak dengan temanku itu. Masa semalam tidur dengannya, lalu ia lari pagi dan berjanji membelikanku makan, tapi aku malah langsung pergi denganmu dan tidak makan berdua dengannya,” sebetulnya Carla tidak sungguhan mengomel, sebab ia juga ingin menemui lelaki ini. Lelaki yang baru ia kenal dan aji mumpung ada kesempatan bertemu.
“Maaf, ya. Kalau begitu makan dulu saja, nanti keburu dingin.”
“Tidak, nanti saja lah. Belum lapar juga.”
Kamar kos ini hampir-hampir tidak ada ruang untuk mengobrol. Penuh barang-barang lelaki, ditambah lagi dua kasur yang berjejer. Carla nampaknya lebih tertarik dengan seekor kucing yang sedari tadi mencari perhatian. Manja berjalan di depan pintu kamar kos seolah tahu bahwa Carla akan tergoda. Tentu saja. Lelaki itu tahu bahwa Carla menyukai kucing. Maka sudah pasti ia akan lebih memilih berbicara dengan kucing ketimbang berbicara dengannya lalu kembali hening sebab gengsi satu sama lain.
Tetapi bagus lah, bisa menjadi topik pembicaraan antara mereka berdua. Lihat, sekarang kucing itu menjadi tema obrolan mereka. Tentang siapa nama kucing itu, dari mana ia datang, dan betapa banyak uang yang dikeluarkan untuk memberi makan si kucing. Ya, di jaman sekarang, orang senang berlomba-lomba merebut perhatian seseorang dengan hewan. Entah betul-betul suka atau pura-pura. Ah, lagi pula sejak dulu kepura-puraan dalam urusan hati sudah tampak tidak asing; entah untuk tujuan apa kepura-puraan itu. Orang-orang mulai takut pada kesepian, kesendirian dianggap sebagai hinaan sebab mereka melihatnya sebagai sesuatu yang tidak normal. Lantas apa yang terlihat normal di hidup ini?
Carla mulai bosan, ia sudah berkali-kali mengambil foto kucing itu. Kucing itu tidak bosan, hanya saja instingnya berkata lebih baik mencari makan. Maka ia pergi. Carla masih tetap belum lapar. Sebetulnya dua manusia ini sejak awal sudah paham dengan tujuannya masing-masing. Bagai insting kucing yang kelaparan, keduanya sama-sama mencari 'makan’, tetapi kekosongan itu bukan di perut letaknya.
Di depan pintu kamar kos, Carla mulai menyulut rokoknya. Tidak mungkin jika ia merokok di dalam kamar orang, apalagi baru ia kenal. Kamar itu cukup bersih untuk dipenuhi kepulan asap rokok dan abu yang kemungkinan berserakan. Maka di depan pintu kamar, asbak dan rokok menemani pembicaraan mereka berdua. Obrolan basa-basi yang cukup membuat Carla senang sebab lelaki ini tidak begitu menunjukkan sifat-sifat lelaki yang Carla benci. Sejauh Carla mengenal lelaki, meski mereka datang dan pergi, seringkali ia mengamati bagaimana lelaki-lelaki itu memulai cerita.
Ada yang senang menyombongkan prestasinya dengan nada bicara seolah manusia lain remeh. Meski, ya, menjadi percaya diri memang bagus, tetapi Carla tidak menyenangi lelaki yang berlebihan menganggap dirinya hebat. Padahal Carla tahu, ia tidak sehebat itu. Apalagi jika sudah ia buktikan di ranjang. Ada pun yang baru bertemu sudah menunjukkan kesedihan berlebih, seolah mereka sengaja melakukan itu untuk memanipulasi naluri keibuan Carla. Maka tentu saja, banyak perempuan yang terlalu serius menanggapinya dan menggunakan naluri keibuannya untuk menanggapi kisah-kisah sedih para lelaki itu. Padahal bisa jadi itu adalah salah satu jebakan.
Atau juga lelaki yang terlalu sering menjelaskan hal-hal di dunia ini dengan sudut pandangnya. Menganggap semua hal mudah sebab begitulah jika sejak awal semua hal di dunia telah diatur oleh kawanan mereka. Jika kita ingat, katanya lelaki pertama yang tercipta itulah yang bertugas menamai benda-benda di bumi. Jadi pantas saja jika mereka cukup senang jika menjelaskan sesuatu dari sudut pandangnya berikut menjadi bebal.
Ah, tapi memang tidak ada habisnya membicarakan itu. Saat ini Carla hanya perlu menyesuaikan diri dan tidak terlalu serius menganggap hal-hal yang menjenuhkan. Rokok di tangan Carla telah habis, dimatikannya rokok di asbak milik lelaki itu. Carla menutup pintu kamar kos. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Lelaki itu merah matanya. Sebab selain efek alkohol di dalam tubuh, ia juga melewatkan tidur malamnya, yang membuat kepalanya kini pening setengah mati. Hingga pagi ini ia masih ditemani Carla mengobrol, meski Carla juga menahan kantuk sebab baru tiga jam ia tidur.
Di dalam selimut yang berwarna abu polos. Di atas kasur yang lebih empuk daripada kasur miliknya. Di bawah langit-langit kamar kos yang muncul bercak jamur. Mereka saling berhadapan. Menghabiskan pagi yang suntuk dan menahan kantuk sebab ada yang harus dituntaskan antara mereka. Lelaki itu memikirkan betapa indahnya pagi dengan tubuh polos di hadapannya. Perempuan itu memikirkan kapan ini berakhir dan bisa tertidur lagi. Dinginnya pagi tidak mengusik dua manusia yang sejenak bersembunyi di dalam selimut. Melupakan realitas hidup yang menjemukan nan semu.
Hingga akhirnya lelaki itu tertidur, setelah merengek meminta satu permainan lagi. Namun Carla lelah dan bersikeras ingin tidur. Tentu saja ia bohong, kepalang segar tidak bisa tidur. Carla diam-diam mengamati wajah lelaki yang terlelap itu. Ia memang suka mengamati wajah lelaki yang sedang tidur. Sebab jika mereka bangun, Carla sering berpikir mereka akan menerkamnya hidup-hidup. Wajah-wajah itu, tidak semenyeramkan jika mata pemiliknya mulai menyala. Mata yang seringkali menatap tubuhnya bagai ia sebuah boneka yang dipajang di etalase toko. Mata yang liar, penuh dengan rahasia yang disembunyikannya. Maka di saat seperti inilah, saat-saat mereka dimanjakan oleh mimpi yang entah indah atau mengerikan, Carla dapat mengamatinya dengan leluasa. Ia selalu merasa wajah-wajah mereka terlihat rapuh dan sepi.
Carla masih menatap wajah lelaki itu. Pagi yang cukup singkat untuk mengenal lelaki itu secara langsung. Ia tidak ada tujuan kepadanya, sama halnya dengan lelaki itu. Ia tahu bagaimana dunia ini penuh permainan. Maka ketimbang dipermainkan, ia memilih turun dan ikut bermain di dalamnya. Wajahnya cukup tampan, kulitnya putih melebihi Carla, bibirnya lembut dan berwarna merah muda, seperti boneka laki-laki. Ia cukup senang mengenalnya. Ia tahu tidak ada yang tetap di dunia ini. Semua akan berubah, begitu juga dengan mereka. Sehingga Carla tahu, masa-masa seperti ini cukup perlu dinikmati, sebab siapa tahu ini yang pertama dan terakhir. Dan Carla hanya perlu berlalu seperti waktu.
Layar laptop dimatikan, lelaki itu mengambil tumpukan data-data, buku, dan lembar-lembar kertas yang telah penuh coretan. Ia membereskan mejanya dan diiringi oleh teriakan selamat dari teman-temannya. Saat ini juga ia tahu, pesta bermalam-malam akan datang menyambutnya.
Di sebuah warung makan Carla duduk menunggu pesanannya. Ia mulai menyulut rokok dan seketika lipstiknya mewarnai filter rokok itu. Ia bosan dan mulai memainkan ponselnya. Dibukanya sebuah aplikasi yang memunculkan wajah lelaki itu. Ucapan selamat memenuhi akunnya dengan wajahnya yang tersenyum, memegang lembaran kertas sebuah syarat sarjana. Dan gambar berganti menjadi stasiun, dan kereta, dan senja yang sendu menghantarkan kata sampai jumpa.
Lelaki yang sempat kutemui dan kukenal. Semoga damai dan bahagia serta di hidupmu.
Purwodadi, 21 Juni 2021