Dua Nama yang Sama

Cima
2 min readMay 30, 2022

--

Pesan itu telah sampai dan terbaca. Sebuah undangan untuk berkunjung lagi. Setelah lama keduanya saling menahan diri. Tentu bukan waktu terbaik tapi, adakah waktu terbaik bagi mereka? Hanya tindakan impulsif yang selama ini bisa dilakukan, justru itulah yang membuat semuanya terasa sampai. Lagi pula, ada sesuatu yang nampaknya harus ia buktikan. Ia harus datang, ia harus menantang.

Di ruangan itu mereka duduk berhadapan. Dua cangkir teh hangat telah terseduh dan tersuguh. ‘Semua masih nampak sama’, batinnya.

Lelaki itu pergi. Hendak mandi, katanya. Ia disuruh menunggu. Adalah keahliannya dalam perihal menunggu, meski seringkali tidak tahu apa yang ditunggu. Ia bukan tidak bisa menginisiasi, mengambil alih keadaan. Tetapi ada kalanya, manusia hanya bisa menunggu. Sambil memikirkan rencana, atau sambil melamun, atau sambil bergumam sendiri, atau sambil apa saja lah, yang penting tetap menunggu. Sebab dalam masa-masa menunggu, terkadang hal tak terduga muncul.

Seperti yang terjadi saat ini, ia melihat dua carik kertas dengan tulisan seperti ceker ayam. Keriting dan tak beraturan, tapi menarik mata untuk dibaca. Ia beranjak sambil membawa secangkir teh. Disesapnya terlebih dahulu untuk menenangkan perasaannya. Puisi itu, mungkin adalah jawaban.

Ia ingat, lelaki itu bercerita mengenai pertemuannya dengan seorang perempuan melalui aplikasi kencan. “Namanya mirip dengan namamu,” katanya.

Puisi itu, puisi yang berisi percakapan dengan perempuan online itu. Namun, bukan berarti ia tulis ulang percakapan itu menjadi sebuah puisi. Itu hanya kedok. Percakapan itu nampaknya hanya bentuk kerinduan pada dirinya. Hanya sebab sebuah nama yang sama! Ia pikir lelaki itu hanya mencoba menyenangkan—bisa jadi juga menenangkan—pikirannya yang kalut sebab perasaan itu membingungkan.

Ia hanya melirik dan membaca cepat puisi itu. Sejak awal dua carik kertas itu tidak disentuh, sebab ia tak ingin lagi dicurigai.

Ia beranjak sambil membawa secangkir teh. Disesapnya terlebih dahulu untuk menepis perasaan bimbangnya. Bagaimana bisa, namanya masih menjadi hal yang dipikirkan lelaki itu? Terlalu rumit. Lebih rumit lagi karena ia sadar, ia juga melakukan hal yang sama.

Ia tahu, lelaki itu membohongi dirinya sendiri. Ia rindu, tetapi terlalu takut untuk jujur. Melalui perempuan online itu, ia mendapati dirinya di tengah-tengah skenario rekaannya sendiri.

Ia tahu, setelah membaca puisi itu, semakin sulit memutus tali yang selama ini masih ia percayai kuat untuk mengikat. Seperti salah satu judul buku kumpulan puisi, “Sundari Keranjingan Puisi”. Ia juga mulai merasakan keranjingan puisi-puisi tersebut. Sebab selalu ada yang membuatnya bahagia, bingung, bimbang, sedih, atau marah. Tetapi tidak bisa. Tidak bisa jika diabaikan begitu saja dan menutup mata rapat-rapat agar tidak melihat.

Lelaki itu kembali. Aroma sabun segera memenuhi ruangan. Ia harus tetap memainkan peran. Berusaha untuk menutupi apa yang ia lihat, sekaligus merekam dan mengingat semampunya.

--

--